Bakal Calon

Cerpen : Joko S. Haryanto

Malam itu udara terasa panas, Pak Karto seorang belantik sapi duduk di teras depan rumahnya sambil sesekali menikmati kopi bikinan istrinya. Tidak terasa jam dinding di ruang tamu berdentang dua belas kali saat Pak Karto didatangi oleh tiga orang. Yang membuat Pak Karto tercengang adalah ketiga orang ini sudah amat dikenalnya. “Bukankah ini Pak Joyo, Pak Misno dan Bu Dirjo? Bukankah ketiganya sudah meningal beberapa waktu yang lalu ?” demikian pertanyaan yang melintas di benak Pak Karto.
Belum sempat pikirannya tertata dengan baik, ketiga tamu yang mengagetkan ini bergantian menyalami Pak Karto. Seorang dari mereka, Pak Joyo, langsung memulai percakapan, “Maaf Pak Karto, mungkin kedatangan kami membuat Pak Karto terkejut. Tapi terpaksa kami harus menemui Pak Karto”.
Sepertinya Pak Joyo sengaja tidak memberi kesempatan Pak Karto untuk bicara. Dengan segera Pak Joyo melanjutkan, “Begini..., Pak Karto kan sering lihat di televisi, banyak kuburan digusur dijadikan bangunan pertokoan. Sebentar lagi kuburan kami pun mau digusur, kemarin kami lihat rombongan dari kelurahan bersama beberapa orang berdasi datang ke kuburan. Dari pembicaraan yang kami dengar kami jadi tahu rencana mereka”.
Pak Karto memberanikan diri untuk menyela lawan bicaranya, “ Lantas apa hubungannya dengan saya, kenapa kalian datang ke saya ?”
“Kami ke sini untuk minta bantuan Pak Karto” Pak Misno yang dari tadi diam ikut berbicara.
“Betul Pak, setelah kami musyawarahkan sepertinya Pak Kartolah yang bisa membantu kami” dengan bersemangat Bu Dirjo menegaskan maksud kedatangan mereka.
“Tapi apa yang bisa saya lakukan, apa saya harus protes ke Pak Lurah atau membujuk warga untuk demontrasi. Bukankah keluarga kalian yang lebih berkepentingan dengan masalah ini ?” Pak Karto tak habis pikir dengan semua ini.
Ketiga tamunya saling berpandangan, lantas Pak Joyo mengangguk seperti tahu maksud teman-temannya. Dengan suara berat dan gaya yang berwibawa seperti saat masih hidup, Pak Joyo menjelaskan “ Kami punya rencana yang lebih dari itu, karena penggusuran kuburan tidak hanya terjadi di sini dan sudah sering dilakukan. Seperti yang Pak Karto lihat sendiri di televisi dan koran. Menurut kami ini sudah menjadi masalah semua orang. Maka dari itu kami dan teman-teman menginginkan ada seseorang yang mau mewakili kepentingan kami di lembaga perwakilan. Sebelumnya kami ingin mendirikan partai sendiri tapi setelah dipikir-pikir tidak realistis. Kami tidak punya dana karena semua kekayaan sudah kami serahkan kepada ahli waris, tanah yang masih kami miliki masing-masing hanya 1 x 2 meter dan itupun kami tempati sendiri. Bahkan untuk mempertahankan yang inipun tidak bisa, bukankah kami tidak memiliki sertifikat ?”.
“Lantas apa maksud dari keinginan kalian untuk memiliki seorang wakil” Pak Karto yang dengan serius mendengarkan penjelasan dari Pak Joyo menyela.
Dengan sabar pak Joyo melanjutkan penjelasannya, “Pada Pemilu yang akan datang selain memilih anggota DPR juga memilih anggota DPD. Nah di sinilah seseorang yang tidak berasal dari Partai Politik dimungkinkan untuk duduk di Dewan Perwakilan mewakili suatu Daerah Pemilihan”.
Pak Karto yang sebenarnya buta tentang politik semakin dibuat bingung dengan kejadian malam itu. Namun karena penasaran dia tetap antusias mendengarkan penjelasan Pak Joyo dan kemudian menimpali, “Berarti kalian menghendaki saya untuk menjadi anggota DPD. Padahal saya seorang belantik yang tahunya hanya tentang jual beli sapi, apa kalian tidak keliru ?”.
Melihat lawan bicaranya mulai menyimak, Pak Joyo semakin bersemangat, “Justru karena latar belakang Pak Karto seorang belantik yang tentu sudah paham betul dengan perkara dagang sapi, maka kami sepakat untuk menjadikan Pak Karto sebagai wakil kami. Pak Karto tidak usah risau dengan minimnya pengetahuan tentang politik yang Pak Karto miliki. Karena di negeri ini pengetahuan tentang politik bukan syarat yang mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang yang duduk di lembaga perwakilan”.
Bu Dirjo melihat ada peluang bahwa harapan mereka untuk membujuk Pak Karto berhasil. Maka tidak disia-siakan kesempatan itu, dengan lihai berusaha membesarkan hati Pak Karto, “Pak Karto tidak usah bingung. Dijalani saja Pak, nanti Pak Karto akan tahu sendiri betapa bermanfaatnya pengalaman Pak Karto selama ini menekuni profesi jual beli sapi. Kelak kalau Pak Karto sudah duduk di lembaga perwakilan, saya yakin Pak Karto akan jadi orang yang sukses kalau mau menerapkan ilmu dagang sapi yang Pak Karto miliki. Pak Karto akan jadi orang terhormat dan terpandang di masyarakat, balum lagi penghasilan yang nantinya Pak Karto dapatkan, bisa ratusan kali lipat dari penghasilan sekarang. Kemana-mana pakai mobil bagus ber AC bukan pick up butut seperti yang sekarang Pak Karto pakai”.
“Seandainya saya tertarik dengan usul kalian, apa yang harus saya persiapkan, saya tidak tahu caranya dan tidak tahu harus bagaimana ?” sepertinya Pak Karto mulai termakan rayuan Bu Dirjo.
Pak Joyo paham dengan isyarat yang diberikan Bu Dirjo dan segera memulai lagi penjelasannya, “Pak Karto tidak perlu melakukan apa-apa. Kami sudah membentuk panitia yang akan mengurus segala sesuatunya. Bahkan kami sudah melakukan konsolidasi ke seluruh daerah kuburan yang ada. Untuk persyaratan administrasi dalam pencalonan nanti, kami juga sudah mengumpulkan ribuan KTP dan tanda tangan dari para pendukung yang tentunya teman-teman kami para penghuni kuburan. Pak Karto jangan khawatir, saya yakin seyakin yakinnya bahwa pencalonan ini pasti sukses. Pak Karto bisa perkirakan sendiri berapa juta penghuni daerah kuburan di negeri ini yang nanti akan memilih Pak Karto dalam Pemilu !”. Dengan gaya bicara yang berapi-api mengingatkan orang akan pengaruh Pak Joyo yang begitu besar di masyarakat, semasa hidupnya.
Akhirnya Pak Misno membuka map yang dari tadi dipegangnya, diletakan di atas meja di samping Pak Karto, “Ini formulir pendaftarannya, sudah siap, sudah kami isi. Pak Karto tinggal menandatangani saja” seperti seorang sekretaris yang sedang melayani bossnya, Pak Misno menyodorkan ballpoint.

Siang harinya, sepulang dari pasar Pak Karto mengumpulkan istri, anak-anak dan seluruh keluarga serta para tetangga di rumahnya. Layaknya seorang pejabat tinggi yang sedang berpidato, Pak Karto menyampaikan maksudnya mengumpulkan mereka, “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kedatangan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Saya tahu bapak-bapak dan ibu-ibu pasti kaget kenapa secara mendadak saya undang ke rumah saya ini. Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya berkeyakinan dalam waktu dekat akan terjadi suatu perubahan yang luar biasa pada diri dan keluarga saya. Jadi ada baiknya hal ini saya sampaikan sekarang agar bapak-bapak dan ibu-ibu nantinya tidak kaget. Dalam kesempatan ini juga saya sampaikan permohonan maaf apabila di waktu yang akan datang saya tidak bisa atau tepatnya tidak punya waktu lagi bergaul dengan bapak-bapak dan ibu-ibu karena kesibukan saya. Keputusan ini terpaksa saya ambil karena saya merasa terpanggil untuk ikut mendarmabaktikan tenaga, waktu dan terutama ilmu serta pengalaman yang saya miliki untuk bangsa ini......”.
Setelah berpidato panjang lebar, ditingkahi dengan saling tatap dan angkat bahu dari para tetanga serta geremang suara saling bisik dan wajah cemas dari istri dan anak-anaknya di akhir pidato dengan bangganya Pak Karto memamerkan sebuah berita di koran nasional dengan judul: KTP Orang Meninggal Digunakan Untuk Syarat Pencalonan Angota DPD. “Ini berita tentang saya, lihat nama saya ditulis di sini. Sekarang saya terkenal. Segala sesuatu yang menyangkut saya akan jadi bahan berita.....”.

Purwokerto, 30 September 2003

Komentar

Postingan Populer