Orang-Orang Yang Kehilangan Hati

Cerpen: Joko S. Haryanto

Dua orang gembel yang sejak tadi duduk di bawah pohon mengamati hiruk pikuk orang-orang yang berdatangan ke sebuah gedung. Puluhan orang mendatangi gedung ini secara berombongan. Ada diantara mereka yang membawa poster dan spanduk. Berbeda dari biasanya dalam rombongan tersebut terdapat seorang mantan presiden bahkan terdapat puluhan wartawan yang biasanya meliput kegiatan-kegiatan seperti itu, sekarang justru mereka diliput oleh sesama rekan wartawan. Rupanya ada sesuatu yang sangat penting yang sedang terjadi di sana.
Gepeng dan Parjo, nama kedua gembel itu sebenarnya tidak begitu tertarik dengan apa yang terjadi baik di dalam maupun di luar gedung. Namun disaat terik seperti sekarang ini tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali duduk-duduk dan sesekali rebahan di bawah rindangnya pohon sambil menghabiskan waktu. Mereka berharap disaat makan siang nanti kembali menemukan menu favorit di keranjang sampah di dekat areal parkir gedung itu.
“Jo, kenapa ya, justru di tempat seperti ini kita bisa menemukan ati, bukannya di restoran atau di warteg ?” Gepeng membuka percakapan sambil merebahkan dirinya di samping Parjo.
“Nggak tahu Peng. Lagi pula kenapa kamu kok tanya soal itu ? Buat kita yang penting kan ada makanan untuk ganjal perut. Soal kita dapatnya di sini atau di tempat lain tidak jadi masalah. Mungkin orang-orang yang ngantor di situ tidak doyan jeroan. Katanya sih kalau di luar negeri jeroan itu untuk makanan ternak.”
“Sok tahu kamu Jo, memangnya sudah pernah ke luar negeri?”
“Lho itu kan kata orang”
“Nggak ah, buktinya di warteg-warteg jualan ati ayam”.
“Sudah lah, buat apa sih kita ribut soal itu.”
Gepeng bangun dari rebahannya dan kembali duduk sambil matanya menerawang ke halaman gedung, “Saya cuma penasaran. Setiap hari kita bisa makan ati di sini. Bagaimana kalau besok pagi kita intip?”
“Intip bagaimana?”
“Ya kita lihat siapa yang membuang-buang makanan yang kata kamu kalau di luar negeri untuk makanan ternak ini.”
“Iseng banget sih, mending kita cari air, aku haus nih” Parjo menanggapi usul dari temannya dengan malas.
“Baiklah, jangan kuatir aku masih menyimpan sedikit air,” kata Gepeng sambil menyodorkan botol yang di ambil dari dalam tasnya. “Cukup kan?”
Matahari tepat di atas ubun-ubun mereka. Bergantian kedua gembel itu menenggak air dari dalam botol, sebagian tumpah mengalir lewat sudut bibir kemudian diseka dengan tangan, lantas keduanya tertawa. Kesegaran terpancar dari kedua mata mereka, berbeda dengan orang-orang yang melewatinya. Lalu lalang orang dengan kesibukan dan tujuan masing-masing tidak sedikitpun menjadi perhatian kedua gembel itu. Dari tahun ke tahun gembel yang sudah jadi gelandangan sejak anak-anak ini menyaksikan hal seperti tu sehingga akhirnya terbiasa. Sepintas kedua gembel itu seperti sedang mentertawakan orang-orang di sekitarnya. Apa yang sebenarnya mereka kerjakan dari pagi hingga sore, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun tak ada hentinya mereka berkejaran dengan waktu. Sementara tidak ada perubahan yang berarti kecuali bagi mereka sendiri. Anak-anak yang mengantungkan nasib mereka di jalanan semakin bertambah banyak, gelandangan bertebaran di mana-mana, pengemis, polisi cepek, pengamen dan pemulung saling bersaing antar mereka karena saking banyaknya.
Yang membuat kedua gembel itu tidak habis pikir adalah kenapa masih sering mereka lihat orang-orang yang berjualan di pinggir jalan dikejar-kejar petugas ketertiban, dagangan dan tempat berjualan mereka di obrak-abrik sampai berantakan, sementara masih ada ratusan bahkan ribuan orang yang tidak punya pekerjaan berkeliaran menyesaki jalan. Rumah-rumah digusur diporak-porandakan dan penghuninya diusir tanpa rasa kemanusiaan, sementara dirinya dan ribuan orang yang senasib bertahun-tahun menggelandang tanpa tempat tinggal dan entah sampai kapan.
“Jo, gedung itu sih kantor apa ya ?” pertanyaan Gepeng memecah suasana yang beberapa saat hening, sambil mengarahkan telunjuknya ke gedung yang berada di depan mereka.
“Itu kan Kantor Pengadilan. Kalau kamu pengin berada di sana, nyolong ayam saja” Parjo menjawab pertanyaan temannya dengan ketus.
“Ya kalau dibawa ke sana, kalau mati dikeroyok orang bagaimana?”
“Makanya kamu jangan tanya yang macam-macam lah, ada apa sih?”
“Enggak. Itu lho, kok di depannya ada gambar ibu-ibu yang membawa pedang sama timbangan tapi matanya di tutup pakai kain.”
“Mungkin dulu pernah ada ibu-ibu nyolong timbangan di pasar, lantas dihukum di sana. Seperti yang kita lihat di layar tancap tempo hari, orang yang dihukum pancung kan matanya ditutup kain. Nah, pedang yang di bawa itu mungkin yang dipakai memenggal kepalanya.”
“Ngawur kamu Jo, masa nyolong timbangan saja dihukum pancung” sambil berkata Gepeng menempelkan tangan di leher temannya menirukan gerakan orang menyembelih.
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
Matahari mulai condong ke arah barat. Lalu-lalang orang sudah sedikit berkurang. Di jalan hiruk-pikuk kendaraan seperti barisan orang yang mengantri beras, saling berebut mendahului, takut tidak kebagian.
“Lho bisa saja Peng, kamu sendiri tadi bilang orang nyolong ayam bisa mati dikeroyok” Parjo memulai lagi percakapan mereka.
“Betul Jo, gambar itu dipasang di sana pasti ada maksudnya, tapi bukan seperti yang kamu bilang tadi.”
“Lantas menurut kamu apa ?”
“Ya nggak tahu Jo. Mungkin justru perempuan di gambar sana itu yang menghukum orang bersalah, yang membawa pedang kan dia.”
“Bisa jadi seperti itu. Tapi kenapa matanya ditutup, apa nanti nggak keliru penggal?”
“Iya ya. Bisa-bisa orang yang bersalah nanti ngumpet, yang dipenggal justru yang tidak bersalah, kan dia nggak bisa melihat.”
Keduanya terdiam, saling pandang. Ketidaktahuan menyelimuti wajah mereka, gelap seperti awan di penghujung musim hujan saat ini yang menutupi Matahari jauh di atas sana. Sebentar lagi hujan turun, bencana banjir di depan mata. Berapa orang lagi yang akan kehilangan tempat tinggal?
Rombongan orang-orang yang membawa berbagai poster dan spanduk yang sejak tadi memenuhi gedung, kini mulai keluar. Beberapa orang diantaranya yang mendahului rekan-rekan mereka, melintas di depan kedua gembel yang masih betah duduk di bawah pohon di depan gedung itu. Gepeng dan Parjo mendengar percakapan mereka.
“Sangat keterlaluan,” ujar orang yang memakai kacamata dengan geram.
“Yang korupsi dan jelas-jelas makan uang rakyat saja rumahnya nggak disita” yang lain menimpali. Tidak kalah geramnya, sambil meninju telapak tangan sendiri.
“Lagi pula kok tumben, untuk urusan ini bisa secepat itu prosesnya” kali ini yang perempuan ikut bicara.
“Setidak-tidaknya mereka harus mempertimbangkan kalau kantor kita disita lantas kita bekerja di mana. Ini sama saja pembredelan. Berapa orang yang akan kehilangan pekerjaan? Sementara pemerintah sendiri tidak mampu menyediakan lapangan kerja, ini malah mau menambah pengangguran” yang berkacamata kembali bereaksi.
“Kalau yang disita rumah para penilep BLBI pasti saya dukung. Ini teror terhadap kita para pekerja pers. Harus dilawan! Ini sudah bukan masalah Goenawan dan Tempo saja, ini masalah kita semua. Menyangkut kebebasan pers, menyangkut hak rakyat untuk memperoleh informasi. Gila apa? Hukum kok dipakai main-main. Keterlaluan! Harus dilawan!” ujar yang lain dengan nada tinggi.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Gepeng dan Parjo sudah bersiap-siap melakukan niatnya. Kedua gembel itu berangkat lebih awal dari biasanya sekedar untuk memenuhi hasrat keingintahuannya.
“Pagi ini kita makan enak lagi Jo” ujar Gepeng dengan wajah berseri-seri.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh kedua gembel itu memperhatikan kendaraan yang silih berganti memasuki areal perkantoran di mana setiap hari mereka menggantungkan harapannya untuk menemukan makanan sekedar pengganjal perut. Tiada hentinya kedua pasang mata itu mengikuti orang-orang yang baru turun dari mobil-mobil mewah berbagai merk, berjalan menuju pintu masuk gedung itu. Sesaat sebelum masuk mereka berhenti, tangan kiri membuka beberapa kancing baju bagian atas. Dengan sebilah pisau yang telah dipersiapkan lantas menorehkannya di bagian dada. Terlihat mereka merogoh rongga dada melalui celah yang terbentuk dari sayatan tadi. Dikeluarkannya organ tubuh berwarna kemerahan sebesar kepalan tangan lantas beramai-ramai mereka lemparkan organ tersebut ke sebuah keranjang sampah! Sepertinya ini merupakan sebuah ritual yang harus mereka lakukan sebelum memasuki gedung itu, sebelum menjadi penghuni dan anggota komunitas gedung itu.
“Jo, ternyata yang kita makan selama ini bukan ati ayam” ujar Gepeng sambil kedua tangannya memegang perut menahan mual.
Kedua gembel itu pun muntah sejadi-jadinya !

Purwokerto, 9 Oktober 2003

Komentar

Postingan Populer