Berita Siang di Sebuah Setasiun TV

Cerpen : Joko S. Haryanto

Jam 6.30 pagi udara terasa segar, semalam suntuk bumi yang sudah sekian lama kering diguyur hujan di penghujung musim. Aktivitas pagi hari di pemukiman padat penduduk ini sudah terasa sejak subuh tadi. Penjual sayur keliling berteriak-teriak menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah di sepanjang gang, beradu kencang dengan teriakan anak-anak berseragam merah putih yang berlarian dengan wajah ceria berangkat sekolah.
Di salah satu rumah di gang itu, keceriaan anak-anak yang polos tidak nampak.
Terutama Arif, bocah kelas tiga SD, sulung dari tiga bersaudara. Kesegaran pagi itu tidak membuatnya bergairah.
“Bu, hari ini aku tidak mau ke sekolah” kata Arif sambil menatap ibunya.
“Kenapa, Nak? Apa kamu sakit?”
Ada kecemasan yang sangat, terpancar dari raut muka Salma. Ya Allah, tabahkanlah hati kami. Berilah kekuatan kepada anak-anak kami menghadapi cobaanMu.
“Arif tidak sakit, Bu. Arif malu sama teman-teman. Kenapa bapak di tangkap polisi, Bu? Arif pun tidak kuat menahan tangisnya. Dipeluknya erat-erat ibu yang berusaha menenangkannya. Ibu dan anak saling berangkulan seakan mereka takut kehilangan lagi orang yang dicintai.
“Kamu tidak usah malu, Nak. Bapak tidak bersalah. Kita harus yakin sebentar lagi bapak pulang. Sebaiknya kamu lebih banyak berdoa, agar Allah melindungi bapak dan menunjukan jalan yang terbaik bagi keluarga kita”.
Salma sangat mengerti apa yang sedang dirasakan buah hatinya ini. Sejak kejadian beberapa malam yang lalu dia pun merasakan seperti apa yang sekarang dirasakan anaknya. Apalagi setelah televisi dan surat kabar memberitakan tentang penangkapan suaminya. Tatapan mata para tetangga dan semua orang yang dijumpainya seakan todongan senjata yang diarahkan padanya, agar ia menjelaskan kebenaran berita yang tersiar.
“Kalau bapak tidak bersalah, kenapa ditangkap?” Arif tetap tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa ayahnya.
“Ibu tidak tahu, Nak. Yang ibu tahu pasti, bapakmu orang baik-baik. Orang yang bertanggungjawab terhadap keluarga. Orang yang sangat menyayangi kalian. Dan yang jelas bapak bukan orang jahat. Kamu tahu sendiri kan? Membunuh seekor tikus saja bapak tidak sanggup”, Salma terus berusaha menghibur anaknya.
“Teroris itu apa sih, Bu?”
“Kenapa kamu tanya itu, Nak?”
“Teman-taman bilang, aku anak teroris”.
“Bukan, Nak. Teman-temanmu keliru. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya dengar dari berita dan belum bisa memahami yang sebenarnya terjadi. Sama seperti kamu. Tidak benar, Nak. Bapak bukan teroris”.
“Ya. Tapi teroris itu apa sih, Bu?” Arif tidak puas mendapat jawaban ibunya.
Salma menghela napas. Ditatapnya mata anaknya dalam-dalam. Hatinya menjerit. Kenapa anak sekecil itu harus ikut tersiksa batinnya karena sesuatu hal yang belum bisa ia pahami? Salma malu pada diri sendiri, kadang dalam keadaan seperti itu ada semacam perasaan diperlakukan tidak adil oleh Yang Maha Kuasa. Dia, suami dan anak-anaknya sudah berusaha menjadi orang baik-baik. Mencari nafkah dengan cara yang dibenarkan agama. Bergaul dengan para tetangga sesuai dengan norma-norma. Menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Ampuni hamba, ya Allah. Tapi ini memang kenyataan. Kenyataan bahwa hamba belum mampu membuang perasaan yang sedikit menggugat ini. Ya Allah, bukankah Kau Maha Kuasa, Maha Adil dan Bijaksana? Berilah kekuatan kepada kami sekeluarga agar mampu menghadapi cobaan ini. Tunjukanlah jalan keluar yang terbaik bagi kami.
Di seberang gang, sayup-sayup terdengar seorang pengamen menyanyikan sepenggal lagu Iwan Fals:
“.....jangan salahkan kecewa kami
bosan dengan irama takdirmu
meski aku tak terganggu
bukankah Kau Maha Tahu, Pengasih, Penyayang
tapi mengapa selalu saja itu hanya cerita
oh Tuhan, tolong dengarkan....”
Salma tersenyum kecil, mengapa ia merasa seolah-olah syair lagu itu mewakili kegalauan hatinya.
“Bu, kok ibu diam saja?”
Salma terkesiap mendengar pertanyaan anaknya.
“Ibu tidak apa-apa, Nak”.
“Ya. Tapi ibu belum menjawab pertanyaanku”.
“Oh. Begini, Nak. Teroris itu orang yang suka menakut-nakuti orang lain. Mereka melakukan hal-hal yang bisa membuat orang merasa ketakutan”.
“Kenapa mereka menakut-nakuti orang, Bu?” Arif semakin ingin tahu.
“Ya, tentunya mereka punya tujuan. Mungkin mereka menginginkan sesuatu. Tetapi keinginannya itu tidak bisa mereka dapatkan dengan cara yang biasa.”
“Terus dengan cara apa, Bu?”
“Ya, dengan cara kekerasan, dengan senjata dan dengan apa saja yang bisa membuat orang menjadi takut”.
“Berarti mereka jahat ya, Bu?”
“Ya. Maka kalau kamu menginginkan sesuatu, tidak boleh memaksa, apalagi memaksa orang lain untuk memenuhi keinginanmu itu dengan mengancam atau menakut-nakuti. Lebih-lebih memaksa dengan cara kekerasan”, Salma memberi pengertian kepada anaknya dengan berusaha tetap tabah.
Di luar suasana semakin ramai saja. Aktivitas orang-orang di pemukiman itu seperti hari-hari sebelumnya. Tampak beberapa orang ibu dengan menggendong bayinya mengerubuti penjual sayur keliling. Perasaan Salma bertambah galau. Di satu sisi dia harus keluar membeli beberapa kebutuhan dapur, di lain sisi dia merasa belum memiliki jawaban yang pas atas kemungkinan pertanyaan dari para tetangga.
Tangisan si kecil, anak Salma yang ketiga, yang baru berumur enam bulan, memecahkan kesunyian di rumah itu. Salma bangkit lalu menggendong bayinya. Ya, Allah dengan apa nanti saya harus memberi makan anak-anak ini, seandainya suami saya dipenjara? Ya, Allah kenapa Engkau biarkan ketidakadilan terjadi di negeri kami? Apakah mengajar di sekolah melanggar hukum? Apakah mengisi pengajian di masjid-masjid merupakan kejahatan? Orang-orang yang melakukan korupsi bebas berkeliaran, sementara suami saya yang tidak merugikan negara satu sen pun harus mendekam di penjara. Bukankah seandainya para koruptor itu dipenjara, istri dan anak-anak mereka tetap bisa makan dan bahkan tetap bisa hidup mewah? Sementara kami, apa yang harus kami lakukan? Ya, Allah kenapa Engkau biarkan semua ini terjadi? Salma tetap tak bisa mengerti.
Pikiran Salma menari-nari, berputar-putar, tetapi tetap belum terlintas jalan terang. Apa yang bisa ia lakukan seandainya harus jadi orang tua tunggal? Mencari nafkah sekaligus mengurus tiga orang anaknya. Mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang dengan tetap berada di rumah. Mungkinkah? Menjahit? Membuat kue? Membuka warung? Sekecil apapun semua itu butuh modal, sementara uang di tangan hanya cukup untuk bertahan hidup, itupun entah sampai kapan. Memberi les anak-anak? Orang tua mana di sekitar sini yang mau dan mampu mengeluarkan biaya ekstra untuk les anak-anaknya. Bukankah sepulang sekolah kebanyakan anak-anak di sini harus membantu orang tua mereka mencari nafkah? Mengajar baca tulis Al Qur’an? Bukankah itu bisa mereka dapatkan secara gratis di masjid di ujung gang? Tempat suami Salma selama ini beraktivitas sepulang mengajar. Ya, Allah tunjukkan pada kami jalan terang.
Dari berita siang sebuah setasiun televisi terdengar, “.....polisi telah membebaskan tiga orang aktivis yang diduga terkait jaringan teroris. Dari hasil pemeriksaan, tidak cukup bukti yang menunjukan keterlibatan mereka. Tiga aktivis yang dibebaskan tersebut adalah.......”
Salma menahan nafas beberapa saat.
Keceriaan nampak di wajah Salma ketika penyiar televisi menyebut nama suaminya. Mata Salma berkaca-kaca tak kuasa menahan keharuan dan rasa syukur.
“Alhamdulillah......”
“Ya, Allah ampuni hamba yang sempat mempertanyakan kekuasaanMu.”

Purwokerto, 16 Oktober 2003

Komentar

Postingan Populer